Laman

Kamis, 02 Mei 2013


PSIKOANALISA
ALFRED ADLER
A.      Teori Psikologi Individual
Menurut Adler, manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Mereka menghubug-hubungkan dirinya dengan orang lain, ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kerja sama sosial, menempatkan kesejahteraan sosial di atas kepentingan diri sendiri, dan mengembangkan gaya hidup yang mengutamakan orientasi sosial. Adler tidak berkata bahwa manusia disosialisasikan hanya dengan melibatkan diri pada proses-proses sosial; dorongan sosial adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, meskipun tipe-tipe khusus hubungan dengan orang dan pranata-pranata sosial yang berkembang ditentukan oleh corak masyarakat tempat orang itu dilahirkan. Maka dalam satu segi, pandangan Adler sama-sama bersifat biologis seperti Freud dan Jung. Ketiga-tiganya berpendapat bahwa seseorang mempunyai kodrat inheren yang membentuk kepribadiannya. Freud menekankan seks, Jung menekankan pola-pola pemikiran primordial, serta Adler menekankan minat sosial. Penekanan pada faktor-faktor sosial tingkah laku yang telah diabaikan atau diminimasikan  oleh Freud maupun Jung mungkin merupakan sumbangan paling besar Adler bagi teori psikologi. Ia mengalihkan perhatian para psikolog pada pentingnya variable-variabel sosial dan membantu mengembangkan bidang psikologi sosial pada saat psikologi sosial membutuhkan dorongan dan dukungan, terutama dari kalangan psikoanalisis.
1.  Pengantar Teori Adlerian
Menurut Adler, manusia lahir dengan tubuh yang lemah dan inferior suatu kondisi yang mengarah pada perasaan inferior sehingga mengakibatkan ketergantungan pada orang lain. Oleh arena itu, perasaan menyatu dengan orang lain (minat sosial) sudah menjadi sifat manusia dan merupakan standar akhir untuk kesehatan psikologis. Lebih spesifik, prinsip utama dalam teori Adler bisa diuraikan dalam bentu kerangka (outline).
Berikut ini adalah adaptasi dari daftar yang menggambarkan pernyataan ahir dari psikologi inividual :
1.   Kekuatan dinamis dibalik perilaku manusia adalah berjuang untuk meraih keberhasilan atau superioritas (striving for succes or superiority).
2.   Persepsi subjetif (subjective perception) manusia membentuk perilaku dan kepribadiannya.
3.   Kepribadian itu menyatu (unified) dan konsistensi diri (self-consistent).
4.   Nilai dari semua aktivitas manusia harus dilihat dari sudut pandang minat sosial (social interest).
5.   Struktur kepribadian yang self-consistent berkembang menjadi gaya hidup (style of life) seseorang.
6.   Gaya hidup dibentu oleh daya kreatuf (creative power) manusia.

2.  Berjuang untuk Meraih Keberhasilan atau Superioritas
      Prinsip pertama dari teori Adlerian adalah kekuatan dinamis di balik perilaku manusia adalah berjuang untuk meraih keberhasilan atau superioritas.
      Adler mereduksi semua motivasi menjadi satu tunggal berjuang untuk meraih keberhasilan atau superioritas. Psikologi individual mengajarkan bahwa setiap orang memulai hidup dengan kelemahan fisik yang memunculkan perasaan inferior, perasaan memotivasi seseorang untuk berjuang demi meraih superioritas atau keberhasilan. Individu yang tidak sehat secara psikologis akan berjuang untuk superioritas pribadi, sedangkan individu yang sehat secara psikologis mencari keberhasilan untuk semua umat manusia.
            Pada awal kariernya, Adler percaya bahwa agresi adalah kekuatan dinamis dibalik semua motivasi, tetapi dengan cepat ia merasa tidak puas dengan istilah ini. Setelah menolak agresi sebagai kekuatan motivasi tunggak, Adler menggunaan istilah masculine protest, yang menyatakan keinginan untuk menguasai atau mendominasi orang lain. Akan tetapi, ia segera meninggalkan masculine protest sebagai dorongan universal sambil tetap memberikan porsi terbatas untuk istilah ini dalam teori perkembangan abnormalnya.

a.   Tujuan Akhir
                        Manusia berjuang demi sebuah tujuan akhir, entah itu superioritas pribadi keberhasilan untuk semua umat manusia. Pada masing-masing kasus, tujuan akhir tersebut sifatnya khayal atau fiksional dan tidak ada bentu objektifnya. Namun demikian, tujuan akhir mempunyai makna besar karena mempersatukan kepribadian dan membuat semua perilaku dapat dipahami.
                        Setiap orang mempunyai kekuatan untuk menciptakan sebuah tujuan fiksional sesuai pribadinya, tujuan yang dibuat dari bahan-bahan mentah yang disediakan oleh factor keturunan dan lingkungan. Akan tetapi,  lebih sebagai produk dari daya kreatig (creative power), yaitu kemampuan manusia untuk secara bebas membentuk perilakunya dan menciptakan kepribadian mereka sendiri.
           Jika anak-anak merasa terabaikan atau dimanjakan, maa tujuan mereka sebagian besar berada di ketidaksadaran. Adler membuat hipotesis bahwa anak-anak akan mengimbangi perasaan inferior mereka dengan cara yang berliku-liku yang tidak mempunyai hubungan jelas dengan tujuan fiksional mereka.

b. Daya Juang sebagai Kompensasi
                    Daya juang itu sendiri itu merupakan bawaan, tetapi sifat dan arah daya juang ini ditentukan ini ditentukan oleh perasaan inferior dan tujuan untuk meraih keunggulan. Tanpa daya bawaan untuk menuju kesempurnaan, anak-anak tidak akan pernah merasa inferior. Akan tetapi, tanpa perasaan, mereka tidak akan pernah menetapkan tujuan untuk meraih superioritas atau keberhasilan. Kemudian, tujuan ditetapkan sebagai kompensasi perasaan inferior, namun perasaan itu tidak akan muncul kecuali seorang anak memiliki kecenderungan dasar untuk menjadi utuh.
                        Walaupun berjuang untuk meraih keberhasilan adalah bawaan, hal ini tetap harus dikembangkan. Ketika lahir, setiap orang berpotensi memiliki daya juang tetapi belum benar-benar memilikinya. Setiap orang harus mengembangkan potensi ini dengan caranya sendiri. Tujuan tersebut memberikan panduan untuk memotivasi, membentuk perkembangan psikologis, dan memberikannya sasaran.
           
c.  Berjuang Meraih Superioritas Pribadi
                    Tujuan mereka bersifat personal dan usaha mereka dimotivasi sebagaian besar oleh perasaan inferior yang berlebihan atau munculnya inferiority complex. Beberapa orang membuat penyamaran yang pintar dalam usahanya meraih tujuan yang bersifat personal dan mungkin secara sadar atau tidak sadar menyembunyikan kecenderungan mereka memikirkan diri sendiri dibalik tirai keprihatinan social.
            Bagi orang-orang yang melihat, ia tampak termotivasi oleh minat social. Akan tetapi, tindakannya itu sebagian besar ditunjukan untuk dirinya sendiri dan dimotivasi oleh kompensaasi berlebih untuk perasaan inferiornya yang besar.
d. Berjuang Meraih Keberhasilan
                        Sebaliknya, orang-orang yang sehat  secara psikologis adalah mereka yang dimotivasi oleh minat sosial dan keberhasilan untuk semua umat manusia. Individu-individu yang sehat ini peduli dengan tujuan-tujuan yang melebihi diri mereka sendiri, mampu untuk menolong orang lain tanpa menuntut atau mengharap imbalan, dan mampu melihat orang lain tidak sebagai lawan, tetapi sebagai manusia yang diajak bekerja sama untuk kepentingan sosial.
            Manusia yang berjuang untuk meraih keberhasilan daripada superioritas pribadi mampu mempertahankan keadaan dirinya, tentu saja, tetap mereka lebih melihat masalah sehari-hari dari sudut pandang perkembangan masyarakat daripada sudut pandang keuntungan pibadi. Pengertian mereka akan pertumbuhan pribadi sangat terikat dengan kontribusi mereka pada lingkungan masyarakat. Bagi mereka, kemajuan sosial lebih penting daripada kebanggan pribadi.

3. Persepsi Subjektif
             Prinsip Adler yang kedua adalah persepsi subjektif  seseorang membentuk perilaku dan kepribadian mereka.
             Manusia berjuang meraih keunggulan atau keberhasilan untuk mengganti perasaan inferior. Akan tetapi, sikap juang mereka tidak ditentukan oleh kenyataan, namun oleh persepsi subjektif mereka akan kenyataan, yaitu oleh fksi mereka, atau harapan masa depan.
a.      Fiksionalisme
                        Fisksi kita yang paling penting adalah tujuan meraih superioritas atau keberhasilan, tujuan yang kita ciptakan di awal kehidupan dan mungkin tidak dipahami dengan jelas. Tujuan akhir yang fiksional dan subjektif ini menuntun gaya hidup kita dan menyatukan kepribadian kita. Gagasan Adler aan fiksionalisme berasal dari buku Hans Vaihinger yang berjudul The Philosophy of ”As If”. Vaihinger percaya bahwa fiksi adalah gagasan yang tidak mempunyai bentuk nyata, namun mempengaruhi manusia sehingga seakan-akan gagasan tersebut adalah nyata. Salah satu contoh sebuah fiksi adalah “Pria lebih superior dibanding wanita”. Walaupun gagasan ini fiksi, banya orang, baik pria maupun wanita bertindak seolah-olah ini nyata.
                 Penekanan Adler pada fiksi dengan konsisten dengan pendekatan teleologis tentang motivasi yang ia pegang erat. Teologi adalah penjelasan tentang perilaku dalam pengertian tujuan atas sasaran akhirnya. Ini berlawanan dengan kualitas, yang melihat perilaku sebagai hal yang tumbuh dari sebab spesifik. Teleologi biasanya memperhatikan tujuan masa depan, sedangkan kasualitas banyak berhubungan dengan pengalaman masa lalu menghasilkan pengaruh di masa sekarang.
b.      Kelemahan Fisik
                         Adler bersikeras bahwa semua umat manusia ”dikaruniai” kelemahan anggota tubuh. Keterbatasan fisik sedikit atau bahkan tidak berarti sama sekali bagi manusia kecuali keterbatasan ini menstimulasi perasaan subjektif tentang inferioritas yang berfungsi sebagai dorongan menuju kesempurnaan atau keutuhan. Beberapa orang mengganti perasaan bermanfaat, sementara yang lain melakukan kompensasi secara berlebihan dan termotivasi untuk menaklukkan orang lain atau menarik diri dari orang lain.
                         Adler menekankan bahwa kelemahan fisik saja tidak menyebabkan seseorang menjalani gaya hidup tertentu. Kelemahan fisik hanya memberikan motivasi pada saat ini untuk meraih tujuan masa depan. Motivasi seperti ini, seperti ini semua aspek kepribadian, menyatu dan self-consistent.

4. Kesatuan dan Self-Consistency dari Kepribadian
Prinsip ketiga dari teori Alderian adalah: Kepribadian itu menyatu dan self-consistent.
Ketika memilih istilah psikologi individual, Adler berharap untuk menekankan keyakinannya bahwa setiap orang itu unik dan tak terpisahkan. Jadi, psikologi individual menekankan pada kesatuan fundamental dari kepribadian dan gagasan bahwa perilaku yang tidak konsisten itu tidak ada. Pikiran, perasaan, dan tindakan, semuanya mengarah pada satu sasaran dan berfungsi untuk mencapai satu tujuan. Ketika seseorang bersikap tidak teratur atau tidak bisa diprediksi, perilaku mereka memaksa orang lain menjadi defensif dan waspada terhadap tindakan yang tak terduga. Meskipun perilaku mereka kelihatan tidak konsisten, ketika dilihat dari perspektif tujuan akhir, perilaku tersebut terlihat baik. Akan tetapi, ada kemungkinan bahwa perilaku yang mereka tunjukkan merupakan usaha-usaha yang tidak disadari untuk mengecoh dan menempatkan orang lain rendah dari dirinya. Perilaku yang membingungkan dan tampak tidak konsisten ini memberikan orang tersebut keuntungan dalam berhubungan interpersonal. Walaupun orang seperti ini sering berhasil dalam usahanya untung mengungguli orang lain, mereka biasanya tetap tidak menyadari motif yang mendasari perilaku mereka dan tetap bersikeras menolak setiap gagasan bahwa mereka berhasrat meraih keunggulan di atas orang lain.
       a.      Bahasa Organ
                        Gangguan terhadap satu bagian tubuh tidak bisa dilihat secara terpisah atau tersendiri karena hal ini memengaruhi keseluruhan diri seseorang. Faktanya, kelemahan suatu organ tubuh memperlihatkan arah dari tujuan seseorang, suatu komdisi yang dienal sebagai bahasa organ. Melalui bahasa organ, organ-organ tubuh ‘berbicara sebuah bahasa yang biasanya lebih ekspresif dan mengungkapkan piiran seseorang dengan lebih jelas daripada yang bisa diungkapan oleh kata-kata.
            Salah satu contoh bahasa organ adalah seorang pria yang menderita rheumatoid arthritis di tangannya. Sendinya yang kaku dan cacat menyuarakan seluruh gaya hidup pria tersebut. Seolah-olah organ tubuhnya berseru, “Lihatlah kelainan pada diri saya. Lihat kecacatan pada diri saya. Anda tidak bisa mengharapkan saya untuk menggunakan tangan dalam melakukan perkerjaan”. Tanpa adanya suara, tangannya berbicara tentang keinginannya mendapatkan simpati dari orang lain.
         b.      Kesadaran dan Ketidaksadaran
                        Adler mendefinisikan sebagai bagian dari tujuan yang tidak dirumuskan dengan jelas atau tidak dipahami secara utuh oleh seseorang. Berdasarkan definisi ini, Adler menghindari dikotomi antara ketidaksadaran dan kesadaran dimana ia memandangnya sebagai dua bagian yang bekerja sama dalam sistem yang menyatu. Pikiran-pikiran sadar adalah pikiran yang dipahami dan diperlakukan seseorang sebagai hal yang membantunya dalam usaha meraih keberhasilan, sedangkan pikiran-pikiran tidak sadar adalah pikiran yang tidak membantu usaha tersebut.
                        Apakah perilaku seseorang mengarah ke gaya hidup yang sehat atau tidak sehat tergantung pada tingkat minal sosial yang mereka kembangkan selama masa kanak-kanak.


5. Minat Sosial
            Prinsip Adler yang keempat adalah Nilai dari semua aktivitas manusia harus dilihat dari sudut pandang minat sosial.
            Minat sosial (social interest)  adalah terjemahan Adler, yang sedikit menyesatkan, dari istilah Jerman asli, yaitu Gemeinschaftsgefühl yang ertinya “perasaan sosial” atau “perasaan berkomunitas”. Kira-kira maknanya adalah perasaan menjadi satu dengan umat manusia menyatakan secara tidak langsung keanggotaan dalam komunitas sosial seluruh manusia. Minat sosial bisa didefinisikan sebagai sikap keterkaitan dengan umat manusia secara umum maupun sebagai empati untuk setiap anggota masyarakat. Minat sosial ini termanifestasi dalam bentuk kerja sama dengan orang lain untuk kemajuan sosial daripada keuntungan  pribadi.
            Minat sosial adalah kondisi alamiah dari manusia dan bahan perekat yang mengikat masyarakat bersama-sama. Inferioritas alamiah dari manusia menyebabkan mereka mengikatkan diri bersama-sama untuk membentuk masyarakat. Tanpa perlindungan dan pemeliharaan dari seorang ibu atau ayah, seorang bayi akan binasa. Oleh karena itu, minat sosial adalah suatu keharusan untuk melastirakan umat manusia.

    a.      Sumber dari Minat Sosial
                        Minat sosial bersumber dari hubungan ibu dan anak selama bulan-bulan pertma masa kanak-kanak dipelihara oleh seorang pengasuh yang memiliki sejumlah minat sosial. Jadi, setiap orang memiliki benih minat sosial yang ditabur selama tahun-tahun pertama kehidupan mereka.
            Adler percaya bahwa pernikahan dan menjadi orang tua adalah tugas untuk dua orang. Akan tetapi, kedua orang tua mungkin memengaruhi minat sosial seorang anak dengan cara yang agak berbeda. Tugas seorang ibu adalah mengembangkan sebuah ikatan yang mendorong kedewasaan minat sosial seorang anak dan membantu berkembangnya minat bekerja sama. Idealnya seorang ibu harus memiliki kasih yang sejati dan mendalam untuk anaknya. Hubungan kasih yang sehat ini berkembang dari perhatian yang tulus untuk anaknya, suaminya, dan orang lain. Jika seorang ibu telah belajar untuk memberi dan menerima cinta dari orang lain, maka ia tidak akan mendapatkan kesulitan berarti untuk memperbesar minat sosial anaknya.
            Ayah adalah orang penting kedua dalam lingkungan sosial seorang anak. Menurut standar Adler, ayah yang berhasil adalah ayah yang bisa menmghindari dua kesalahan, yaitu keterlepasan emosional dan authorotarianisme orang tua. Keslahan-kesalahan ini bisa memperlihatkan dua sikap, tetapi keduanya sering ditemukan di sosok ayah yang sama. Kedua kesalahan ini menghalangi pertumbuhan dan perluasan minat sosial seorang anak. Keterlepasan emosional seorang tentang minat sosial, perasaan diabaikan, dan kemungkinan keterkaitan yang bersifat parasit. Kesalahan yang kedua authoritarianisme orang tua juga bisa menyebabkan gaya hidup yang tidak sehat. Seorang anak yang melihat ayahnya sebagai seorang tiran akan belajar meraih kekuasaan dan superioritas pribadi.

         b.      Pentingnya Minat Sosial
            Bagi Adler, minat sosial adalah satu-satunya standar untuk menilai seberapa berharganya seseorang. Sebagai barometer kenormalan, minat sosial adalah standar yang digunakan untuk menentukan seberapa bermanfaatnya hidup seseorang. Orang yang tidk dewasa kurang memiliki Gemeinschaftsgefühl, mereka berpusat pada diri sendiri (self-centered), dan berjuang untuk meraih kekuasaaan juga seuperioritas pribadi atas orang lain. Individu yang dewasa sungguh-sungguh menaruh perhatian pada manusia dan mempunyai tunjuan keberhasilan yang meliputi kesejahteraan umat manusia.
                        Seorang wanita kaya memberikan banyak uang untuk orang miskin dan orang yang membutuhkan. Pemberiannya menyiratkan : “anda inferior, saya superior, dan sumbangan ini mmebuktikan superioritas saya”. Adler percaya bahwa harga dari tindakan semacam itu hanya bisa dinilai berlawanan dengan kriteria minat sosial.
            Singkatnya, manusia memulai hidup dengan daya juang dasar yang digerakan oleh keterbatasan fisik yang dialami. Kelemahan ini tanpa diragukan menyebabkan perasaan inferior. Individu yang secara psikologis tidak sehat, mengembangkan perasaan inferior yang dilebih-lebih dan berusaha mengatasi perasaan ini dengan meletakkan tujuan untuk meraih superioritas pribadi. Sedangkan orang yang sehat secara psikologi dimotivasi dengan perasaan tidak lengkap yang wajar dan tingkat minat sosial yang tinggi.

6.       Gaya Hidup
            Prinsip Adler yang kelima adalah struktur kepribaadian yang self-consitent berkembang menjadi gaya hidup seseorang.
            Gaya hidup (style of life) adalah istilah yang digunakan Adler untuk menunjukan selera hidup seseorang. Gaya hidup mencakup tujuan seseorang, konsep diri, perasaan terhadap orang lain, dan sikap terhadap dunia. Gaya hidup adalah interaksi antara keturunan atau bawaan lahir, lingkungan, dan daya kreatif yang dimiliki seseorang, adler menggunakan analogi musik untuk menjelaskan istilah gaya hidup. Nada-nada yang terpisah adalah komposisi tanpa makna jika tanpa keseluruhan lagu, namun lagu memperoleh makna tambahan ketika kita mengenali gaya seseorang pencipta lagu atau ekspresi sikapnya yang unik.
            Melalui konsep gaya hidup, Adler menjelaskan keunikan manusia. Setiap manusia memiliki tujuan, perasaan inferior, berjuang menjadi  superior dan dapat mewarnai atau tidak mewarnai usaha mencapai superioritasnya itu dengan minat sosial. Akan tetapi setiap manusia melakukannya dengan cara yang berbeda. Gaya hidup merupakan cara unik dari setiap orang dalam mencapai tujuan khusus yang telah ditentukan dalam  lingkungan hidup tertentu, di tempat orang tersebut berada. Gaya hidup berdasarkan atas makna yang seseorang berikan mengenai kehidupannya atau  interpretasi unik seseorang mengenai inferioritasnya, setiap orang akan mengatur kehidupannya masing-masing untuk mencapai tujuan akhirnya dan mereka berjuang untuk mencapai hal tersebut

7.       Daya Kreatif
            Prinsip terakhir dari teori Adlerian adalah gaya hidup dibentuk oleh daya kreatif yang ada dalam diri manusia.
            Adler percaya bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk menciptakan gaya hidupnya sendiri pada akhirnya, setiap orang bertanggung jawab akan dirinya sendiri dan bagaimana mereka berperilaku. Daya kreatif (creative power) yang mereka miliki membuat mereka mengendalikan kehidupan mereka sendiri, bertanggung jawab akan tujuan akhir mereka, menentukan cara yang mereka pakai untuk meraih tujuan tersebut, dan berperan dalam membentuk minat sosial mereka.
            Daya kreatif adalah konsep dinamis yang menggambarkan pergerakan (movement), dan pergerakan ini adalah karakteristik hidup yang paling penting. Semua hidup psikis mencangkup pergerakan tujuan dan pergerakan dengan arah.
            Diri kreatif merupakan jembatan antara stimulus-stimulus yang menerpa seseorang dan respon-respon yang diberikan orang yang bersangkutan terhadap stimulus-stimulus itu. Pada hakikatnya, doktrin tentang diri kreatif itu menyatakan bahwa manusia membentuk kepribadiannya sendiri. Manusia membangun kepribadiannya dari bahan mentah hereditas dan pengalaman. Diri kreatif adalah ragi yang mengolah fakta-fakta dunia dan mentransformasikan fakta-fakta ini menjadi kepribadian yang bersifat subjektif, dinamik, menyatu, personal dan unik.
           

HUMANISTIK
C. Roggers

            1.      Aktualisasi Diri
            Rogers terkenal sebagai seorang tokoh psikologi humanis, aliran fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan terapis, ide-ide dan konsep teorinya banyak didapatkan dalam pengalaman-pengalaman terapeutiknya.
Ide pokok dari teori – teori Rogers yaitu individu memiliki kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani masalah–masalah psikisnya asalkan konselor menciptakan kondisi yang dapat mempermudah perkembangan individu untuk aktualisasi diri. Menurut Rogers motivasi orang yang sehat adalah aktualisasi diri. Jadi manusia yang sadar dan rasional tidak lagi dikontrol oleh peristiwa kanak-kanak seperti yang diajukan oleh aliran Freudian, misalnya toilet trainning, penyapihan ataupun pengalaman seksual sebelumnya. Rogers lebih melihat pada masa sekarang, dia berpendapat bahwa masa lampau memang akan mempengaruhi cara bagaimana seseorang memandang masa sekarang yang akan mempengaruhi juga kepribadiannya. Namun ia tetap berfokus pada apa yang terjadi sekarang bukan apa yang terjadi pada waktu itu.
Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi -potensi psikologis yang unik. Aktualisasi diri akan dibantu atau dihalangi oleh pengalaman dan oleh belajar khususnya dalam masa kanak-kanak. Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan perkembangan hidup seseorang. Ketika mencapai usia tertentu (adolensi) seseorang akan mengalami pergeseran aktualisasi diri dari fisiologis ke psikologis. Rogers dikenal juga sebagai seorang fenomenologis, karena ia sangat menekankan pada realitas yang berarti bagi individu. Realitas tiap orang akan berbeda–beda tergantung pada pengalaman–pengalaman perseptualnya. Lapangan pengalaman ini disebut dengan fenomenal field. Rogers menerima istilah self sebagai fakta dari lapangan fenomenal tersebut.

           2.      Perkembangan Kepribadian
Konsep diri (self concept) menurut Rogers adalah bagian sadar dari ruang fenomenal yang disadari dan disimbolisasikan, dimana “aku“ merupakan pusat referensi setiap pengalaman. Konsep diri merupakan bagian inti dari pengalaman individu yang secara perlahan dibedakan dan disimbolisasikan sebagai bayangan tentang diri yang mengatakan “apa dan siapa aku sebenarnya“ dan “apa yang sebenarnya harus saya perbuat“. Jadi, self concept adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku.
Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Untuk menunjukkan apakah kedua konsep diri tersebut sesuai atau tidak, Rogers mengenalkan 2 konsep lagi yaitu:
a)   Incongruence
Incongruence adalah ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauan batin.
b)      Congruence
Congruence berarti situasi dimana pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral, dan sejati.
Menurut Rogers, para orang tua akan memacu adanya incongruence ini ketika mereka memberikan kasih sayang yang kondisional kepada anak-anaknya. Orang tua akan menerima anaknya hanya jika anak tersebut berperilaku sebagaimana mestinya, anak tersebut akan mencegah perbuatan yang dipandang tidak bisa diterima. Disisi lain, jika orang tua menunjukkan kasih sayang yang tidak kondisional, maka si anak akan bisa mengembangkan congruence-nya. Remaja yang orang tuanya memberikan rasa kasih sayang kondisional akan meneruskan kebiasaan ini dalam masa remajanya untuk mengubah perbuatan agar dia bisa diterima di lingkungan.
Dampak dari incongruence adalah Rogers berfikir bahwa manusia akan merasa gelisah ketika konsep diri mereka terancam. Untuk melindungi diri mereka dari kegelisahan tersebut, manusia akan mengubah perbuatannya sehingga mereka mampu berpegang pada konsep diri mereka. Manusia dengan tingkat incongruence yang lebih tinggi akan merasa sangat gelisah karena realitas selalu mengancam konsep diri mereka secara terus menerus.

Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain. Perkembangan diri dipengaruhi oleh cinta yang diterima saat kecil dari seorang ibu. Kebutuhan ini disebut need for positive regard, yang terbagi lagi menjadi 2 yaitu conditional positive regard (bersyarat) dan unconditional positive regard (tak bersyarat).
v Jika individu menerima cinta tanpa syarat, maka ia akan mengembangkan penghargaan positif bagi dirinya (unconditional positive regard) dimana anak akan dapat mengembangkan potensinya untuk dapat berfungsi sepenuhnya.
v  Jika tidak terpenuhi, maka anak akan mengembangkan penghargaan positif bersyarat (conditional positive regard). Dimana ia akan mencela diri, menghindari tingkah laku yang dicela, merasa bersalah dan tidak berharga.
Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai person sehingga ia tidak bersifat defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.
              3.      Konsepsi-konsepsi pokok dalam teori Rogers adalah:
a)   Organism, yaitu keseluruhan individu (the total individual)
Organisme memiliki sifat-sifat berikut:
·   Organisme beraksi sebagai keseluruhan terhadap medan phenomenal dengan maksud memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
·   Organisme mempunyai satu motif dasar yaitu: mengaktualisasikan, mempertahankan dan mengembangkan diri.
·   Organisme mungkin melambangkan pengalamannya, sehingga hal itu disadari, atau mungkin menolak pelambangan itu, sehingga pengalaman-pengalaman itu tak disadari, atau mungkin juga organisme itu tak memperdulikan pengalaman-pengalamannya.
b)      Medan phenomenal, yaitu keseluruhan pengalaman (the totality of experience)
Medan phenomenal punya sifat disadari atau tak disadari, tergantung apakah pengalaman yang mendasari medan phenomenal itu dilambangkan atau tidak.
-    Self, yaitu bagian medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan dan penilaian sadar daripada “I” atau “me”.
Self mempunyai bermacam-macam sifat:
·   Self berkembang dari interaksi organisme dengan lingkungan.
·   Self mungkin menginteraksikan nilai-nilai orang lain dan mengamatinya dalam cara (bentuk) yang tidak wajar.
·   Self mengejar (menginginkan) consistency (keutuhan/kesatuan, keselarasan).
    Organisme bertingkah laku dalam cara yang selaras (consistent) dengan self. Pengalaman-pengalaman yang tak selaras dengan stuktur self diamati sebagai ancaman. Self mungkin berubah sebagai hasil dari pematangan (maturation) dan belajar.


BEHAVIORISTIK
Albert Bandura
                A.    TEORI BELAJAR SOSIAL
Teori belajar social menekankan bahwa lingkungan – lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan ; lingkungan – lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana dikutip oleh (Kard,S,1997:14) bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari pembelajaran social adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan ,Pertama. Pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negatif saat mengamati itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model (Nur, M,1998.a:4).
Seperti pendekatan teori pembelajaran terhadap kepribadian, teori pembelajaran social berdasarkan pada penjelasan yang diutarakan oleh Bandura bahwa sebagian besar daripada tingkah laku manusia adalah diperoleh dari dalam diri, dan prinsip pembelajaran sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang. Akan tetapi, teori – teori sebelumnya kurang memberi perhatian pada konteks social dimana tingkah laku ini muncul dan kurang memperhatikan bahwa banyak peristiwa pembelajaran terjadi dengan perantaraan orang lain. Maksudnya, sewaktu melihat tingkah laku orang lain, individu akan belajar meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain sebagai model bagi dirinya.
            B.       Teori Peniruan ( Modeling )
Pada tahun 1941, dua orang ahli psikologi, yaitu Neil Miller dan John Dollard dalam laporan hasil eksperimennya mengatakan bahwa peniruan ( imitation ) merupakan hasil proses pembelajaran yang ditiru dari orang lain. Proses belajar tersebut dinamakan “social learning“ – “pembelajaran social “. Perilaku peniruan manusia terjadi karena manusia merasa telah memperoleh tambahan ketika kita meniru orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Menurut Bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan maupun penyajian, contoh tingkah laku (modeling). Dalam hal ini orang tua dan guru memainkan peranan penting sebagai seorang model atau tokoh bagi anak-anak untuk menirukan tingkah laku membaca.
Dua puluh tahun berikutnya ,” Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963) telah melakukan eksperimen pada anak – anak yang juga berkenaan dengan peniruan. Hasil eksperimen mereka mendapati, bahwa peniruan dapat berlaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model (orang yang ditiru) meskipun pengamatan itu tidak dilakukan terus menerus. Proses belajar semacam ini disebut “observationallearning” atau pembelajaran melalui pengamatan. Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial diperbaiki memandang teori pembelajaran sosial yang sebelumnya hanya mementingkan perilaku tanpa mempertimbangan aspek mental seseorang.
Menurut Bandura, perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam diri(kognitif) dan lingkungan. pandangan ini menjelaskan, beliau telah mengemukakan teori pembelajaran peniruan, dalam teori ini beliau telah menjalankan kajian bersama Walter (1963) terhadap perlakuan anak-anak apabila mereka menonton orang dewasa memukul, mengetuk dengan palu besi dan menumbuk sambil menjerit-jerit dalam video. Setelah menonton video anak-anak ini diarah bermain di kamar permainan dan terdapat patung seperti yang ditayangkan dalam video. Setelah anak-anak tersebut melihat patung tersebut,mereka meniru aksi-aksi yang dilakukan oleh orang yang mereka tonton dalam video.
Berdasarkan teori ini terdapat beberapa cara peniruan yaitu meniru secara langsung. Contohnya guru membuat demostrasi cara membuat kapal terbang kertas dan pelajar meniru secara langsung. Seterusnya proses peniruan melalui contoh tingkah laku. Contohnya anak-anak meniru tingkah laku bersorak dilapangan, jadi tingkah laku bersorak merupakan contoh perilaku di lapangan. Keadaan sebaliknya jika anak-anak bersorak di dalam kelas sewaktu guru mengajar,semestinya guru akan memarahi dan memberi tahu tingkahlaku yang dilakukan tidak dibenarkan dalam keadaan tersebut, jadi tingkah laku tersebut menjadi contoh perilaku dalam situasi tersebut. Proses peniruan yang seterusnya ialah elisitasi. Proses ini timbul apabila seseorang melihat perubahan pada orang lain. Contohnya seorang anak-anak melihat temannya melukis bunga dan timbul keinginan dalam diri anak-anak tersebut untuk melukis bunga. Oleh karena itu, peniruan berlaku apabila anak-anak tersebut melihat temannya melukis bunga.
Perkembangan kognitif anak-anak menurut pandangan pemikir islam yang terkenal pada abad ke-14 yaitu Ibnu Khaldun perkembangan anak-anak hendaklah diarahkan dari perkara yang mudah kepada perkara yang lebih susah yaitu mengikut peringkat-peringkat dan anak-anak hendaklah diberikan dengan contoh-contoh yang konkrit yang boleh difahami melalui pancaindera. Menrut Ibnu Khaldun, anak-anak hendaklah diajar atau dibentuk dengan lemah lembut dan bukannya dengan kekerasan. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa anak-anak tidak boleh dibebankan dengan perkara-perkara yang di luar kemampuan mereka. Hal ini akan menyebabkan anak-anak tidak mau belajar dan memahami pengajaran yang disampaikan.

          C.      Unsur Utama dalam Peniruan (Proses Modeling/Permodelan)
Menurut teori belajar social, perbuatan melihat saja menggunakan gambaran kognitif dari tindakan, secara rinci dasar kognitif dalam proses belajar dapat diringkas dalam 4 tahap , yaitu : perhatian / atensi, mengingat / retensi, reproduksi gerak , dan motivasi.
1.      Perhatian (’Attention’)
Subjek harus memperhatikan tingkah laku model untuk dapat mempelajarinya. Subjek memberi perhatian tertuju kepada nilai, harga diri, sikap, dan lain-lain yang dimiliki. Contohnya, seorang pemain musik yang tidak percaya diri mungkin meniru tingkah laku pemain music terkenal sehingga tidak menunjukkan gayanya sendiri. Bandura & Walters(1963) dalam buku mereka “Sosial Learning & Personality Development”menekankan bahwa hanya dengan memperhatikan orang lain pembelajaran dapat dipelajari.
2.      Mengingat (’Retention’)
Subjek yang memperhatikan harus merekam peristiwa itu dalam sistem ingatannya. Ini membolehkan subjek melakukan peristiwa itu kelak bila diperlukan atau diingini. Kemampuan untuk menyimpan informasi juga merupakan bagian penting dari proses belajar.
3.      Reproduksi gerak (’Reproduction’)
Setelah mengetahui atau mempelajari sesuatu tingkahlaku, subjek juga dapat menunjukkan kemampuannya atau menghasilkan apa yang disimpan dalam bentuk tingkah laku. Contohnya, mengendarai mobil, bermain tenis. Jadi setelah subyek memperhatikan model dan menyimpan informasi, sekarang saatnya untuk benar-benar melakukan perilaku yang diamatinya. Praktek lebih lanjut dari perilaku yang dipelajari mengarah pada kemajuan perbaikan dan keterampilan.
4.      Motivasi
Motivasi juga penting dalam pemodelan Albert Bandura karena ia adalah penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu.


DAFTAR PUSTAKA
  • Feist. Jess,. And Feist, J., Georgory. (2010). Teori kepribadian. Jakarta : Salemba Humanika.
  • Sarwono, Sarlito Wirawan. 1979. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.